Beberapa kali saya harus mengusap air mata yang mengalir di pipi. Dari balik kamera handycam ini saya terus me-record kesaksian sahabatku di sebuah persekutuan doa di sebuah kantor di Karawaci ini. Kisah yang sama, hal-hal yang sama yang telah saya dengarkan sebenarnya
sejak dua-tiga tahun terakhir ini saya mulai bersahabat dengannya.
Kisah tentang bagaimana sahabat saya itu benar-benar mengalami kondisi
jatuh “terjerembab ke tanah saat sedang terbang tinggi dari langit.”
Bagaimana saat di puncak karirnya yang telah meng-arsiteki berbagai
pembangunan gedung perkantoran, mall dan banyak proyek lainnya, dan
sedang liburan keluarga di San Fransisco, namun tiba-tiba saja harus
mengalami stroke.
Stroke yang melumpuhkan hampir seluruh persendian tubuhnya. Stroke yang
membuat sebagian otaknya terendam darah. Stroke yang membuat dirinya
tak bisa menelan air putih sekalipun. Bicara pun tak bisa lagi..
betul-betul seperti bayi yang sama sekali tak bisa melakukan apa-apa.
Vonis dokter saat itu adalah ia tak mungkin bisa sembuh/pulih kembali.
Memang ada karakter tentang sahabat saya itu yaitu keras kepala.. atau
nekat kali ya..sehingga ia tak pernah peduli bagaimana kondisinya yang
betul-betul membuat drop hingga ke titik nol, ia tetap nekat ingin
sembuh.. ingin pulih, dan nekatnya lagi ia tetap ingin bisa bekerja
kembali, itu targetnya.
Sungguh sebuah keinginan yang gila, menurut saya jika dalam kondisi
seterpuruk itu memiliki keinginan yang berbanding terbalik, 180 derajat
berbeda dengan realitanya.
Saya pernah bertanya, “Kok bisa nekat memiliki keinginan untuk bekerja
kembali, padahal kondisi saat itu secara logika sangat tidak
memungkinkan?”
Sahabatku itu menjawab, “Kalau aku tidak bekerja, bagaimana harus menafkahi anak-anakku kelak, sementara aku seorang single mother…”
Dan itulah tekad terkuatnya, yaitu cintanya kepada anak-anak dan
keluarganya yang mau tidak mau membuatnya harus terus berkarya. Terus
memberikan kontribusi kepada orang di sekitarnya dan banyak orang yang
membutuhkan keahliannya di bidang arsitektur.
Mimpinya tak pernah salah…. Sedikit demi sedikit, ia mulai belajar
bagaimana menelan makanan, dimulai dari bagaimana menelan es krim yang
meski masih selalu belepotan sampai akhirnya mulai kembali belajar
mengucapkan kata-kata.. dari mulai kata-kata pendek seperti bat, cat, dst. Lalu siapa sangka, dari tidak bisa membaca kembali, kini ia telah menerbitkan dua buah buku! Gila.., dia menjadi penulis buku..!
Mimpi itu tak ada yang salah.. semenjak ia mulai kembali belajar
bagaimana bicara dan belajar membaca, jalannya terbuka untuk bekerja
kembali pada perusahaan sebelumnya tempat ia bekerja. Meski kini
pekerjaannya hanya di belakang meja, berbeda dengan pekerjaan
sebelumnya yang membuat ia harus ada di lapangan, di lokasi proyek,
namun itu menjadi titik balik dirinya mencapai banyak hal yang
sebelumnya tak mungkin.
Menulis… meski ia menulis dengan mengandalkan satu tangan, yaitu tangan
kirinya saja karena bagian kanan dari tubuhnya lumpuh. Dan menulis
awalnya hanya sebagai terapi penyembuhan saja untuknya. Dengan menulis ia mulai berani menuangkan berbagai ekspresinya,
pengalamannya, pengalaman apapun, sesepele apapun itu, dan juga
berbagai pemikirannya di bidang yang ia kuasai yaitu arsitektur dan
planologi perkotaan.
Hingga berbagai hoby-nya pun ia kisahkan dalam blog-nya. Dan suatu saat
tulisannya tentang hobynya di bidang philateli - perangko, membuat ia
akhirnya memamerkan koleksi-koleksinya di Museum Pos TMII dan berbagai
tempat lainnya. Dan siapa nyana ternyata koleksi-koleksi surat dan
perangkonya tersebut bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah
sehelainya. Wajar saja karena koleksi tersebut berasal dari berbagai
negara dan tokoh-tokoh international yang pernah membalas kiriman
surat-suratnya sewaktu ia kecil.
Kini berbagai penghargaan baik itu dalam bidang penulisan, hoby
filateli, maupun sebagai sosok inspiratif yang memberikan
motivasi-motivasi hidup, dari berbagai pihak telah diraihnya. Aktif
dalam kegiatan dan gagasan akan penggunaan internet sehat dan pendukung
komunitas para penyandang cacat Indonesia, dan sokongannya yang besar
untuk yayasan stroke, yang ia berikan dari sebagian hasil penjualan
buku-bukunya.
“Biaya untuk pengobatan para penderita stroke itu sangat mahal sekali,
bagaimana dengan mereka yang terbatas dananya untuk pulih… Karena
itulah aku menyisihkan sebagian hasil penjualan bukuku untuk Yayasan
Stroke Indonesia,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan awal pertama saya bertemu dengannya dua tahun
yang lalu saat ia hanya mengandalkan kursi roda untuk berjalan, dan ia
pun masih belum percaya diri untuk bisa tampil kembali di depan publik.
Bicara pun sulit, untuk menyampaikan dan berbagi apa yang ada dalam
kepalanya. Tapi kini, dengan lancarnya ia menghipnotis ratusan audiens
yang hadir… Heran saya, belajar public speaking di mana ia
bisa begitu lancar berbicara dan membuat para pendengar terpana,
sesekali beberapa orang malah mengusap basah pipi mereka.
Ia pernah terbang tinggi ke angkasa.. mengalami turbulensi.. lantas
jatuh terjerembab ke titik nol… Karena stroke yang melumpuhkan seluruh
tubuhnya, sama sekali tidak bisa berbicara dan menulis. Namun
keberanian dan ‘kenekatannya’ dalam menghadapi badai kehidupan bukan
menjadikannya tak berdaya. Justru di titik nol itu ia bisa
me-reformulasi ulang kehidupannya kembali.
Nol hanyalah awalannya.. namun perbedaannya adalah pada “lompatan” selanjutnya.. itu yang menentukan…
Dipublikasikan Oleh : HMJ Biologi UNP
Terimakasih telah membaca artikel tentang Pernahkah Anda Berada Di Titik Nol Oleh Admin, Anda diperbolehkan mengcopy-paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya :
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !