Dalam sistem kehidupan kampus modern, pers kampus
telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan
kampus, secara posisi kelembagaan pers kampus sebenarnya merupakan
wadah yang bertindak sebagai penyambung lidah mahasiswa, corong
aspirasi yang senantiasa mengekspresikan suara ketertindasan yang
dialami oleh warga kampus sehingga tidak heran jika dalam sejarah
perjalanannya pers kampus terkadang mengambil posisi vis a vis dengan
aparat birokrasi sebagai kosekuensi logis yang mereka tanggung dalam
memperjuangkan idealism pers, tentunya kita tetap tidak mungkin menutup
mata bahwa di sisi lain pers kampus juga terkadang dimanfaatkan
birokrasi dalam memuluskan kepentingannya dengan menghantam balik pers
kampus yang pro terhadap mahasiswa. Gambaran mengenai pers kampus yang
idealis dan anti pragmatis merupakan potret pers kampus yang bisa
dijumpai di era reformasi, tidak dapat dipungkiri kelihaian dan
kepiawaian pers kampus kala itu dalam menebar angin perubahan kepada
warga kampus telah menjadi faktor X bagi tumbuhnya benih reformasi 98,
selepas reformasi pers kampus masih mampu unjuk gigi dalam mengawal
agenda reformasi di lingkungan kampus, akan tetapi sejalan dengan
perputaran waktu pers kampus seakan mengalami masa suram dalam
dialektikanya.
Ganto: salah satu surat kabar kampus UNP |
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pers kampus yang dulunya pernah
menjadi pengontrol kebijakan birokrasi justru mengalami titik balik
kesejarahan, mata kita justru disuguhi sajian realitas yang berbanding
terbalik dengan masa - masa sebelumnya. Bagi pers kampus tertentu,
sikap idealisme yang semestinya dijaga justru mulai dipersepsi sebagai
emas murni yang bisa dijual kesana - kemari, baju perisai kebanggan itu
telah dijual lalu diganti dengan kostum pragmatisme karena dianggap
lebih memikat dan dapat mendatangkan keuntungan materil dalam jumlah
besar, tidak perlu heran dengan beberapa pers kampus yang dulunya
sangat garang terhadap birokrasi namun sekarang telah mulai jinak dan
membungkukkan badan dihadapan birokrasi, bahkan dalam kasus tertentu
mereka rela berkompromi demi kepentingan sesaat, jeritan mahasiswa
teraniaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab untuk mereka
perjuangkan seakan tidak terdengar lagi, kalau dulu pers kampus
dianggap sebagai representasi corong mahasiswa maka sekarang ia justru
terkadang dijuluki sebagai peng “iya” setia birokrasi.
Penulis tidak bermaksud menafikan eksistensi pers kampus tertentu yang
masih setia memegang ikrar untuk bertindak sebagai corong aspirasi
mahasiswa, hanya saja imunitas mereka dalam menghadapi tekanan
birokrasi juga terlihat mengalami kemunduran, ia tidak lagi terlihat
layaknya baja yang tak bisa ditembus namun ia lebih terlihat sebagai
kertas karton yang mudah disobek, lihat saja beberapa bukti ketika pers
kampus meyuarakan tuntutan yang seratus persen bertentangan denagan
kemauan birokrasi, awalnya mereka terlihat sangat percaya diri dengan
aspirasi yang mereka bawakan namun sikap percaya diri tersebut bisa
langsung memudar ketika ancaman dan tindakan represi birokrasi mulai
menerpa. Memang tetap ada sebagian kecil pers kampus yang tetap eksis
dibawah hujan ancaman dan tindakan represif tersebut, hanya saja
jumlahnya terus berkurang dari hari ke hari, belum lagi terdapat
beberapa lembaga pers mahasiswa yang hanya sibuk mempublikasikan
kegiatan - kegiatan mahasiswa yang lebih bernuansa hedonistik (hura -
hura belaka) namun sama sekali tidak berkaitan dengan pembangunan
karakter gerakan yang sepatutnya mewarnai dinamika kampus kita, menurut
hemat penulis lembaga pers kemahasiswaan semacam ini seharusnya malu
melabeli diri sebagai lembaga pers mahasiswa, ia lebih cocok dilabeli
sebagai tabloid gosip belaka.
Kedepan, seharusnya pers kampus mampu menampilkan diri sebagai corong
aspirasi yang selalu menyuarakan suara kritis di lingkungan kampus,
tentunya komitmen idealisme menjadi sebuah harga yang tak tertawar,
demi menjaga persemaian idealisme maka dibutuhkan pembenahan internal
tertentu, misalnya perekrutan calon anggota yang harus seideal mungkin.
Hendaknya anggota yang direkrut tidak hanya diberi pelatihan
profesionalisme kewartawanan (meliput, mewawancarai, mencari narasumber
dll) akan tetapi para calon anggota seharusnya ditanamkan nilai
doktrin idealisme ke dalam diri mereka, hal ini sangat penting
mengingat masa awal bergelut di dunia pers merupakan momen krusial yang
akan mempengaruhi dirinya dalam pembentukan karakter sebagai seorang
jurnalis, singkat kata “bila sedari awal ia dilatih untuk aportunis
maka ia juga berpeluang menjadi wartawan aportunis namun jika sejak
awal ia dibekali dengan nilai idealisme kewartawanan maka maka ia juga
lebih berpeluang untuk menjadi wartawan idealis”, selain itu mereka
seharusnya memiliki kecerdasan yang cukup dalam menjalankan tugas
jurnalismenya mengingat jurnalis (khususnya yang bertugas di lapangan)
adalah orang yang bertanggungjawab atas sebuah realitas, jika hanya
denga kecerdasan pas - pasan maka mereka tidak memiliki analisis tajam
dalam memandanng sebuah peristiwa sehingga realitas yang dilaporkan
hanya realitas semu karena dirinya hanya mampu melihat aspek permukaan
terhadap sebuah peristiwa, ia tidak sampai melihat sumber utama dari
sebuah masalah dan bagian yang diliput hanyalah bagian yang dianggap
paling menarik saja walaupun bagian tersebut bukan merupakan substansi
utama kejadian, hal seperti ini berpotensi membohongi publik, bagian
editing juga memainkan peran utama dalam proses pemberitaan. Ingat pers
kampus harus menjadi pengusung suara kebenaran bukan justru menjadi
alat propaganda birokrasi.
Oleh: Zaenal Abidin Riam
Dipublikasikan Oleh : HMJ Biologi UNP
Terimakasih telah membaca artikel tentang Pers Kampus Kian Kembang Kempis Oleh Admin, Anda diperbolehkan mengcopy-paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya :
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !